
SEMARANG,
– Terkenal sebagai tempat yang menakutkan, Lawang Sewu Semarang telah mengubah atmosfernya sejak kedatangan warung angkringan di area depanya.
Pemuda-pemudi Semarang menghidupkan suasana malam di Lawang Sewu lewat obrolan yang menyenangkan bersama teman-temannya, menikmati camilan bersama grup mereka, atau cukup duduk-duduk saja sambil didampingi.
live music
.
Saat
Ketika berkunjung beberapa hari yang lalu pada akhir pekan, halaman dengan rumput hijau di kompleks Lawang Sewu difungsikan sebagai tempat duduk dan beristirahat sambil menikmati penerangan lampunya yang indah.
Terdapat juga beberapa warung kaki lima dengan gerobak yang menawarkan aneka makanan, cemilan, serta minuman.
“Pada awalnya menakutkan, kini justru digandrungi oleh kalangan remaja. Tempatnya sangat baik, memiliki nuansa retro,” ujar Putri (19), yang tiba bersama teman dari Tembalang ketika ditemui untuk wawancara tersebut.
Lawang Sewu di Semarang buka untuk publik mulai pukul 20:00 hingga 04:00 WIB setiap hari Selasa sampai Minggu.
Tempat wisata bersejarah yang ada di tengah kota Semarang menjadi semakin menarik dengan adanya musik akustik dan konser langsung.
Putri menyatakan bahwa ini adalah kunjungan pertamanya ke Lawang Sewu dan dia segera menikmati hidangan yang disajikan di tempat angkringan tersebut.
“Saya sebelumnya tidak pernah mengunjungi Lawang Sewu, ini adalah pengalaman pertamaku meskipun hanya di warung angkringan saja. Siapa tahu nanti-nantinya jika memungkinkan untuk bermain, saya akan mencoba masuk ke dalam Lawang Sewu juga,” jelasnya.
Menurut Putri, atmosfer di tempat makan angkringan di Lawang Sewu terasa begitu hangat dan menyenangkan. Apalagi, disekitar area halaman terdapat senter-senter berwarna kuning yang memberikan cahaya redup.
“Yang paling disukai adalah suasana yang klasik, ditambah dengan lagunya. Sangat cocok jika ingin mengajak pasangan,” tutup Putri.
Pengunjung lain bernama Bagus Setiawan (20) menambahkan bahwa tempat hangout baru ini memiliki daya tarik khusus untuk remaja seperti dirinya.
Di samping suasana yang tenang, warung angkringan di Lawang Sewu menawarkan ragam pilihan makanan, cemilan, serta minuman dengan harga yang relatif murah.
“Saya mendengar tentang hal ini melalui TikTok berkat informasi dari seorang teman. Saya menemukan bahwa itu sangat bermanfaat, terutama untuk mahasiswa. Harganya murah dan tidak memberatkan dompet, jadi saya telah berkunjung kesini sebanyak dua kali,” katanya.
Dia tiba bersama rekannya dari universitas untuk merasakan atmosfer malam di Kota Semarang.
Menurut Ian, panggilannya, keberadaan angkringan di Lawang Sewu dapat merubah suasana dari awalnya menyeramkan menjadi terlihat memesona.
“Makin enak begitu. Kita pun dapat merenungkan sejarah Lawang Sewu melalui jalur ini,” ucap Ian.
Sejarah Lawang Sewu
Lawang Sewu adalah sebuah struktur historis di Semarang yang didirikan saat masa penjajahan Belanda.
Lawang Sewu terletak di area Simpang Lima, secara spesifik di Jalan Pemuda Nomor 160, Kelurahan Sekayu, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Provinsi Jawa Tengah.
Dalam bahasa Jawa, istilah “lawang” berarti pintu, sementara “sewu” memiliki arti seribu. Oleh karena itu, banyak orang menerjemahkan Lawang Sewu sebagai seribu pintu.
Sebenarnya, sesuai yang dikutip dari situs kemenparekraf.go.id, gedung Lawang Sewu hanya mempunyai 928 pintu atau kekurangan sekitar 72 pintu agar dapat disebut sebagai bangunan berribuan pintu.
Di samping informasi serupa itu, Lawang Sewu memiliki riwayat panjang perkembangan peradaban Kota Semarang yang terus berjalan dari masa ke masa.
Menurut informasi dari situs web heritage.kai.id, Lawang Sewu pada mulanya adalah kantor pusat bagi perusahaan kereta api swasta bernama Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM).
Bangunan Lawang Sewu ini diciptakan oleh Prof. Jakob F. Klinkhamer dan B.J. Ouendag, keduanya adalah arsitek asal Amsterdam.
Lawang Sewu dibangun secara bertahap dan mengambil area sebesar 18.232 meter persegi untuk lokasiannya.
Dilaporkan di situs web kmenparekraf.go.id, kompleks Lawang Sewu mencakup lima struktur bangunan.
Proses desain awal Lawang Sewu diawali oleh seorang arsitek dari Belanda bernama Ir. P. de Rieu. Bangunan pertama yang diciptakan adalah gedung C.
Gedung itu dijadikan tempat untuk Kantor Percetakan Karcis Kereta Api pada tahun 1900.
Setelah Ir. P. de Rieu meninggal, Prof. J. Klinkhamer dan B. J. Oungdag dipilih untuk meneruskan proyek pengembangan Lawang Sewu.
Kemudian baru konstruksi bangunan utama atau gedung A yang berfungsi sebagai kantor pusat NIS dilakukan mulai bulan Februari tahun 1904 dan selesainya adalah di akhir bulan Juli tahun 1907.
Saat kantor kereta api itu terus bertumbuh, sejumlah bangunan penunjang pun didirikan, yaitu gedung B, D, dan E antara tahun 1916 sampai 1918.
Gedung B saat ini sedang dalam proses pembangunan yang dikerjakan oleh Prof. J. Klinkhamer dan B. J. Oundag. Di sisi lain, gedung D dan E dirancang oleh arsitek Thomas Karsten.
Dia menjadi arsitek paling muda serta terakhir yang mengambil peran dalam mendesain konstruksi Lawang Sewu.
Menurut informasi yang dikutip dari situs Gramedia.com, setelah Belanda menarik diri, kendali pemerintahan kemudian diambil alih oleh Jepang pada tahun 1942.
Maka dari tahun 1942 sampai 1945, bangunan tersebut dipakai sebagai kantor Ryuku Sokyoku (Kementerian Perhubungan Jepang).
Akan tetapi, pihak Jepang pun menggunakannya sebagai ruangan untuk menahan tawanan dan tempat pelaksanaan hukuman mati.
Setelah itu di tahun 1945, lebih spesifiknya pada bulan Oktober, pemerintah Belanda berusaha mengambil alih lagi daerah Semarang, hal ini menyebabkan terjadinya pertempuran yang akhirnya memaksa pasukan Jepang untuk mundur.
Setelah konflik berakhir, bangunan tersebut diubah fungsinya dan kemudian digunakan sebagai kantor untuk DKARI (Djawatan Kereta Api Republik Indonesia).
Tetapi pada tahun 1946, kantor DKARI perlu dipindahkan ke lokasi mantan kantor de Zustermaatschappijen sebab Lawang Sewu akan dijadikan markas oleh tentara Belanda.
Pada tahun 1994, gedung Lawang Sewu secara resmi dikembalikan ke PT Kereta Api Indonesia dan kemudian mengalami proses restorasi di tahun 2009.
Berikutnya di tahun 2011, Ibu Negara Ani Yudhoyono melakukan peresmian gedung cagar budaya ini. Kini, tempat tersebut telah diproyeksikan sebagai museum dan menarik minat baik turis lokal maupun internasional untuk mengunjungi.
(Sari Hardiyanto, Puspasari Setyaningrum)